SELAMAT DATANG DI SITUS RESMI DESA DUREN KECAMATAN GADING KABUPATEN PROBOLINGGO

Kamis, 16 Maret 2017

MENGGALI & MEMBANGUN POTENSI DESA

Perencanaan pembangunan desa dalam cara pandang lama selalu menitik beratkan pada analisa masalah sebagai cara awal merumuskan program/kegiatan desa. Ada yang menyebut analisa masalah dengan metode teknikalisasi masalah. Teknikalisasi masalah kurang lebih diartikan sebagai cara mencari dan merumuskan masalah-masalah yang muncul di desa sebagai dasar pengambilan keputusan atas perencanaan program/kegiatan prioritas pembangunan desa untuk satu periode tertentu. Teknik ini sering diterapkan dalam kegiatan-kegiatan seperti musyawarah pembangunan desa (musrenbangdes) penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa).
Dalam kegiatan musrenbangdes, masyarakat diajak berbondong-bondong datang dan berani menyampaikan berbagai persoalan hidup di desa. Lalu pemerintah desa, tepatnya tim penyusun RPJMDesa dan RKP Desa, mentabulasikannya ke dalam daftar masalah. Lalu mencari jalan keluarnya dengan membuat daftar rumusan program/kegiatan prioritas. Setelah disepakati, maka daftar masalah dan rancangan program/kegiatan tersebut didokumentasikan ke dalam naskah kebijakan yang disebut RPJMDesa dan RKPDesa.
Dengan menerapkan pendekatan masalah, forum musrenbangdes di satu sisi berhasil menggali banyak keluhan permasalahan desa. Tapi di sisi lain melupakan bahwa di balik permasalahan ada kekuatan, bahkan ada peluang kemudahan. Banyak data statistik menjustifikasi bahwa kemiskinan tertinggi ada di desa. Rumah kurang sehat, dan terbuat dari material berkualitas rendah yang terbanyak ya ada di desa. Tidak sedikit pula hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa pendapatan masyarakat di desa rendah sehingga anak-anak desa tidak mampu mengakses pendidikan tinggi. Pendidikan masyarakat desa yang rendah kemudian disinyalir menjadi akar masalah kemiskinan di desa.
Bukankah di balik kemiskinan desa, ternyata kita masih menemukan ketangguhan wong-wong deso. Meski di desa tidak ada sarana-prasaran kesehatan yang memadai, apalagi modern, ternyata masih ada warung hidup yang bisa dimanfaatkan untuk membuat jamu. Meski tidak mengenyam lembaga pendidikan umum, apalagi pendidikan tinggi, tidak sedikit penduduk desa yang hanya belajar di pesantren ternyata banyak yang berhasil menjadi usahawan desa yang sukses. Misalnya menjadi juragan kerajinan genteng, pengrajin mebeuler, pedagang tembakau sampai dengan pedagang beras. Demikian pula dengan pendapat bahwa kualitas rumah penduduk desa buruk, ternyata ketika terjadi bencana gempa bumi, justru rumah-rumah di desa terbukti tahan gempa. Ketika kota kehabisan stok sembako, justru di desa masih kita dapatkan berbagai jenis bahan makanan.
Kita lebih sering melihat sisi kelemahan tapi lupa bahwa di sisi yang lain kita memiliki kekuatan, mempunyai aset berharga yang apabila dioptimalkan maka aset terbut akan berubah jadi energi perubahan. Di sinilah arti penting mengimbangi analisa masalah dalam perencanaan pembangunan desa dengan pendekatan aset. Dengan pendekatan aset kita dilatih untuk lebih menghargai kondisi dan prestasi desa secara positif. Jadi, di sela-sela masalah, sejatinya masih ada aset baik dalam bentuk fisik maupun non fisik yang perlu diapresiasi, hingga baik untuk dijadikan motivasi untuk mendorong perubahan desa menjadi lebih baik.
Maka, ada baiknya model perencanaan pembangunan desa tidak hanya mengumpulkan masalah tapi juga menghimpun aset dan potensi yang desa miliki. Dengan kata lain pendekatan pesimistis harus diimbangi dengan pendekatan optimistik. Jadi, prioritas program pembangunan desa yang direncanakan dalam RPJMDesa dan RKPDesa tidak hanya mencerminkan permasalahan desa semata, tapi proyeksi rencana pembangunan yang didasarkan pada perhitungan dan analisa kekuatan yang ada di desa (strength based approach). Kekuatan-kekuatan tersebut bisa berasal dari aset tangible seperti sumber daya alam dan sumber daya fisik dan berasal dari aset intangible seperti aset sosial, budaya, dan ekonomi desa.
Ragam Jenis Aset.
Yang namanya aset tentu bukan hanya tanah semata. Dalam teori aset, dikenal ada dua jenis aset yaitu aset yang berwujud dan dan asset yang tidak berwujud. Aset berwujud yang dapat dipersepsi dengan indra peraba disebut intangible asset. Sementara untuk aset yang berwujud karenanya dapat dipersepsi dengan indra disebut tangible asset.
Secara fisik jenis tangible asset adalah jenis aset yang memiliki nilai ekonomi (economic value), nilai komersial (commercial value) dan nilai tukar (exchange value). Bagaimana dengan intangible asset. Aset jenis ini memang tidak berwujud dan tidak memiliki ukuran secara fisik. Tapi sesungguhnya memiliki energi potensial yang apabila teraktualisasikan, maka ia akan terlihat nilainya, misalnya nilai manfaat.
Pada dasarnya kedua jenis aset tersebut sama-sama memiliki posisi penting dalam pembangunan desa. Keduanya adalah modal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa. Sumber daya alam misalnya. Kehidupan masyarakat sejak masih mengenal tradisi meramu dan berladang berpindah-pindah hingga zaman teknologi informasi saat ini, untuk memenuhi kebutuhannya adalah dengan memanfaatkan sumber daya alam.
Untuk mengoptimalkan nilai manfaat sumber daya alam atau aset fisik lainnya, tetap membutuhkan sumber daya lainnya yaitu sumber daya manusia dan sumber daya sosial. Peran sumber daya manusia tidak hanya diketahui dari aspek ekonomi, tapi juga non ekonomi. Jika melihat manusia dari sudut pandang ekonomi yang sempit, maka manusia hanya akan ditafsirkan sebagai bagian dari faktor produksi semata. Dengan demikian manusia hanya akan menjadi obyek pembangunan. Padahal manusia adalah subyek pelaku pembangunan.
Dalam teori pentagonal asset, paling tidak dikenal ada lima jenis aset yang saling berkomplementer. Artinya, satu sama lain saling dibutuhkan. Kelima aset tersebut yaitu :
1. sumber daya alam (natural capital). Contohnya sumber mata air, sawah, hutan, mineral bebatuan, sungai, cahaya matahari, laut, dan frekuensi/gelombang radio;
2. keuangan (financial capital). Contohnya Anggaran Pendapatan Belanja Desa, Pendapatan Asli Desa, Dana Desa, Dana Publik (kas RT, arisan, tabungan).
3. fisik (physical capital). Contohnya, jalan aspal, jalan setapak, kantor desa, gedung serba guna, rumah penduduk, pos kesehatan desa, computer, kursi.
4. Sosial (social capital). Contohnya, gotong royong, solidaritas sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi, tingkat pendidikan dan kesehatan penduduk.
5. Sumber daya manusia. Contohnya, tokoh masyarakat, pemulung, petani, PNS, pedagang, pengusaha, siswa dan mahasiswa, kader posyandu.
Jadi, untuk mengaktualisasikan potensi yang terkandung dalam asset, maka perlu memperhatikan kelima aset tersebut.
PENDEKATAN ASET DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA :
Kemanfaatan dari suatu aset desa bergantung pada kemampuan dan kreativitas tata kelola baik yang diperankan pemerintah desa dan masyarakat desa. Beberapa desa di Gunungkidul seperti Desa Bleberan dan Desa Bejiharjo adalah contoh desa yang dikenal berhasil mengelola sumber daya lokalnya. Kedua desa tersebut berhasil mengembangkan usaha desa wisata dengan menjual eksotika goa. Desa Bleberan mengembangkan goa Rancang Kencono, sedangkan Desa Bejiharjo mengandalkan keindahan goa Pindul.
Bagaimana dengan desa kita. Jangan bilang kalau desa kita miskin, tidak punya sumber daya se-menarik dua desa di atas. Jangan berargumen pula bahwa masyarakat atau pemerintah desa kita payah, tidak punya motivasi maju. Pada hakikatnya, setiap wilayah pasti memiliki aset yang didalamnya mengandung potensi. Nah, potensi itu akan menjadi aktual bergantung pada kapasitas pengelolaan asset atau manajemen aset yang dilakukan desa, khususnya oleh pemerintah desa. Menurut Kolopaking (2011), kapasitas dalam aras desa yang perlu dikuatkan untuk mengaktualisasikan energi potensial yang ada di desa adalah:
Pertama, peningkatan kepekaan terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Pemerintah mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat. Salah satu bentuknya adalah menyusun program/kegiatan pembangunan desa yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Termasuk pemanfaatan asset desa yang dialamatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Kedua, kapasitas mengumpulkan, mengerahkan dan mengoptimalkan atau mendistribusikan aset desa untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Pemerintah desa seharusnya memiliki kesiapan untuk mengelola kelima jenis aset di atas. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah desa mampu memproses perencanaan ruang, pelaksanaan atau pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan bersama masyarakat.
Ketiga, menguatkan pemerintah desa mengidentifikasi dan merumuskan pengaturan kehidupan desa beserta semua asset yang terkandung didalamnya melalui peraturan desa yang bersandar pada kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Penerjemahan secara kongkrit upaya mengaktualisasikan nilai manfaat dari aset desa bisa dilakukan pemerintah desa dan masyarakatnya melalui serangkaian kegiatan yang kami sebut “apresiasi aset” ke dalam sistem perencanaan pembangunan desa agar memiliki basis analisis aset yang kuat. Langkahnya sebagai berikut:
1. mengidentifikasi mengetahui jenis dan potensi aset yang dimiliki desa.
2. merumuskan trajectory strategi optimalisasi dan pemanfaatan aset desa baik dalam skala jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
mengkonsolidasikan rencana jangka panjang pemanfaatan aset desa tersebut ke dalam manajemen perencanaan program/kegiatan pembangunan desa. Misalnya menjadikan rencana jangka panjang tersebut menjadi acuan pembuatan dokumen perencanaan pembangunan desa (RPJMDes dan RKPDesa)